Oleh : Tontowy Djauhari Hamzah  (hamzah@dnet.net.id)

KOMUNITAS Tionghua pada berbagai sisi justru terlihat lebih mendekati miniatur Indonesia dibanding komunitas lainnya. Dari sudut kultur/bahasa misalnya, kita akan menemui komunitas Tionghua yang berbahasa Jawa (bahkan berbudaya Jawa) di kawasan Pulau Jawa, sebagaimana bisa kita lihat pada sosok Liem Swie King (pebulutangkis) yang medok, juga Jaya Suprana, pengusaha Jamu yang tidak bisa menggunakan sumpit dan fasih berbahasa Jawa halus.

Dari Sumatera ada Anton Medan, mantan preman yang kini jadi juru dakwah agama Islam, ada juga Sofyan Wanandi kelahiran Sumatera Barat, yang masih kental logat Sumbar-nya meski bertahun-tahun tinggal di Jakarta. Bahkan hampir di tiap daerah kita bisa menemukan etnis Tionghua dengan kultur dan bahasa setempat. Bahkan dengan nama setempat.

Dari sudut profesi juga demikian. Memang yang menonjol dari komunitas Tionghua ini adalah pedagang, namun pada kenyataannya, komunitas ini bergerak di berbagai bidang keprofesian, meski tidak terlalu menonjol namun cukup signifikan untuk menyatakan adanya pluralitas dalam profesi mereka.

Sebagaimana pernah diungkapkan oleh TEMPO edisi 22 Februari 1999, komunitas Tionghua tidak hanya memiliki tokoh-tokoh seperti Liem Sioe Liong dan sebagainya, juga ada tokoh-tokoh idealis seperti Christianto Wibisono, Arief Budiman dan Soe Hok Gie. Bahkan pada generasi yang lebih mudanya bisa ditemui Esther Indahyani Yusuf, dan Enin Supriyanto.

Dari sudut agama juga demikian. Hampir semua agama formal yang berlaku di Indonesia ini memiliki penganut dari etnis Tionghua. Meskipun sebagian besar beragama non-Islam. Namun demikian tokoh keturunan Tionghua yang beragama Islam cukup mendapat tempat yang terhormat, seperti Prof. Hembing, dan Syafi'i Antonio yang sangat memahami seluk-beluk perbankan Islam.

Dari beberapa sudut pandang ini, bisa dikatakan komunitas Tionghua merupakan miniatur dari bangsa Indonesia yang majemuk. Dari segi jumlah, komunitas Tionghua tidak kalah potensialnya, karena mencapai sekitar 9 juta Jiwa, bandingkan dengan komunitas Timtim yang cuma 750.000 jiwa dan lebih homogen dalam hal agama (Katholik).

Keberagaman yang menjadi bagian dari komunitas Tionghua di Indonesia, sayangnya tidak tersosialisasikan secara baik. Entah siapa yang melakukan disinformasi tentang ini. Dan entah apa maksudnya. Yang jelas, komunitas Tionghua diidentikkan dengan atribut-atribut seperti:

1. Pedagang
2. Kaya
3. Non Islam (khususnya Kristen/Katholik)
4. Eksklusif

Sebaliknya, komunitas Tionghua juga mendapat pasokan informasi yang keliru tentang pribumi, yang selalu diidentikkan dengan sifat-sifat pemalas, kasar, tidak jujur, Islam, kampungan dan sebagainya. Kesalah-pahaman itu tentu saja kalau terus dibiarkan akan menciptakan suasana yang kurang nyaman, bahkan lebih jauh dari itu. Oleh karena itu perlu adanya sebuah forum terbuka yang mengklarifikasikan hal ini.

Komunitas Tionghua sudah berada di kawasan Nusantara ini sejak ratusan tahun silam, jauh sebelum kawasan Nusantara ini dijajah Belanda. Berarti komunitas Tionghua punya hak yang sama dengan komunitas lainnya, yang ketika itu sama-sama bukan warga negara Indonesia, karena negara Republik Indonesia belum terbentuk. Dari sudut pandang ini, maka bisa dikatakan bahwa kita semua adalah nonpri, karena nenek moyang kita bukan warga negara Indonesia, sebab Negara RI baru ada sejak 17 Agustus 1945.

Nilai-nilai Islam menegaskan bahwa bumi ini ciptaan Tuhan, dan siapa saja berhak menarik manfaat darinya. Nabi Muhammad adalah penduduk Mekkah yang kemudian berpindah (hijrah) ke Madinah. Di Madinah, Nabi Muhammad adalah nonpri, yang pada akhirnya bisa menjadi pemimpin umat (semacam kepala negara) di sana, karena memang rakyat banyak memilihnya (bukan hanya kerabat-teman yang ikut hijrah bersamanya).

Jadi, masalah komunitas Tionghua di Indonesia lebih banyak bertumpu kepada adanya kesalah-pahaman diantara kedua-belah pihak. Sayangnya, kondisi salah-paham seperti itu justru dipelihara oleh sebuah kepentingan, sehingga komunitas Tionghua cenderung manjadi sasaran pelampiasan kekecewaan masyarakat (pribumi) terhadap kondisi sosial-politik yang terjadi.

Oleh karena itu kesalah-pahaman inilah yang harus dikikis. Perlu adanya forum terbuka seperti CNN, perlu adanya sebuah parpol yang agenda utamanya menangani masalah ini, perlu ada media cetak yang juga concern terhadap masalah ini.









Sumber : Tionghoa-Net

0 komentar:

Posting Komentar