Untuk ke sekian kalinya Jane mengelus lembut album foto di hadapannya. Untuk ke sekian kali pula dengan punggung tangannya dia menghapus kristal-kristal bening yang jatuh menganak-sungai di pipinya…..

“Hans ……,” suaranya parau dan lemah. Di sana, seorang pemuda tampan bertubuh atletis berdiri gagah dengan latar panorama Danau Toba yang menawan.


Sekali lagi dielusnya wajah itu. Wajah yang pernah menghiasi mimpi-mimpi indahnya…….


“Eh, kamu lagi ngapain? Kok bengong sendirian di sini?”


Jane terperanjat. Wajahnya bersemu merah. Sejak tadi dia duduk sendirian di tepi jendela. Matanya memandang teman-temannya yang tengah bermain di tengah lapangan.


Tadi Mia ada mengajaknya untuk ikut bergabung namum dia lebih memilih jadi penonton. Sebentar lagi lonceng masuk akan berbunyi.


Diangkatnya wajahnya. Malu-malu dia menatap cowok macho di hadapannya. “Aku …., aku lagi malas bergabung dengan mereka……,” akhirnya terlepas juga kalimatnya.


“Aku temani saja ya?” Si cowok mengambil tempat di sebelahnya.


“Hans…., aku….,” Jane menggeser sedikit. Benar, jantungnya sungguh berdebar keras. Dia penjamkan mata sambil berupaya menata debaran itu. Jangan-jangan sangkin kerasnya nanti kedengaran oleh …..


“Janette Ariska, namamu cantik ya? Ehm…, seperti orangnya.” Hans tersenyum tipis meliriknya.


“Hans…,” Jane mengedarkan pandang ke sekelilingnya, sambil menggeser tubuhnya menjauh sedikit. Di kelas itu, hanya ada beberapa murid cowok. Dan semoga mereka tidak menggubris kehadiran si macho, eh, Hans ini. Terutama mengusik kebersamaan mereka, tentu saja.


“Jane, kenapa ya sepertinya kamu terkesan selalu menghindariku? Apa aku ini seperti beruang yang bisa merobek jantung hatimu? Atau ….?”


Benar! Kamu telah mencuri hatiku sejak pertama kali aku mengenalmu! Tidakkah kamu menyadarinya, Hans?


“Baiklah, Jane, izinkan aku berterus terang padamu hari ini. Tak baik aku memendamnya begitu lama.” Hans menatap kedua bola mata Jane lekat-lekat.


Dan gemuruh di dalam sini terasa kian tak menentu saja. Jane memaksakan matanya bersitatap dengan cowok itu.


“Jane, sejak semula aku memang sudah menyukai kamu…..”


Duarrrr!!!! Kata-kata itu benar-benar menjadi petasan di telinga Jane. Kok seperti kisah murahan di cerpen-cerpen remaja? Aku tidak salah dengar? Coba ulangi sekali lagi Hans! Sekali lagi saja! Ayolah….!


“Jane, lihatlah mataku, apakah ada dusta di sana?”


Perlahan, Jane menatap kembali mata itu. Sepasang mata elang yang menjanjikan keteduhan dengan oasenya yang menyejukkan. Adakah dusta di sana? Oh, kalau ini sebuah mimpi, jangan bangunkan aku lagi…..!


*****
Maka hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang penuh dengan bunga. Bagi Jane dan Hans tentu saja. Tak peduli bisik-bisik cemburu yang berhembus kencang di antara meja dan bangku SMA kelas III itu. Juga tatapan dan cibiran sinis cewek-cewek lain yang merasa kalah, yang selama ini berupaya keras meraih hati Hans.


Setiap pagi adalah gairah dan semangat baru. Sepertinya ke sekolah bukan lagi untuk menuntut ilmu. Padahal ujian akhir sebentar lagi tiba. Peduli amat! Rasanya cinta selalu menjadi pemenang di atas segalanya!


Dan memang, hari ini adalah sebuah keceriaan. Besok apalagi! Sepanjang hari hingga larut malam yang hadir adalah bayangan wajah si dia. Ah, dunia ini kok rasanya cuma milik berdua ya? Yang lainnya cuma…., ah!


Menjelang usai pelajaran, tak sabar rasanya menanti lonceng terakhir berdentang. Ada debar aneh di dalam sini, sulit terlukiskan dengan kata-kata. Indahnya menikmati bakso dan es jeruk bersama. Nikmatnya membelah jalan Kota Medan dengan motor berdua. Segarnya udara di taman kota. Biarlah Pak Amat nongkrong dengan mobil Papa di rumah, tak usah jemput ke sekolah. Aih, aih…., tak ada yang lebih asyik selain hati yang terus berdebaran oleh semerbak puspa cinta!


Hingga suatu hari, ketika kenyataan menunjukkan wajahnya……


“Jane, aku janji, aku pasti pulang menjumpaimu. Kita akan menikah, punya anak-anak yang lucu-lucu dan cantik-cantik, hidup berbahagia selamanya…..”


Di mata Jane, hanya ada hujan dan hujan nan tak kunjung reda. Begitu deras! Begitu menghempas! Mega hitam berarak-arak nun di atas sana. Halilintar menggelegar berkepanjangan membelah udara yang membekukan. Mata indah itu benar-benar telah kuyup oleh air bening yang tak usai menganak-sungai.


Amerika? Oh, tak bisakah ditunda? Atau paling bagus dibatalkan saja? Namun ini demi cita-cita, demi masa depan. Ya, demi masa depan! Ah, kalau saja jauh-jauh hari Hans mengakui sejujurnya, bahwa papanya mengharuskannya meneruskan studi di negara Paman Sam itu. Bahwa kelak dialah putra mahkota perusahaan keluarga yang telah dibangun dengan cucuran darah dan air mata itu. Bahwa segalanya telah disusun sedemikian rupa…..


Tak tahukah kamu, Hans, aku hanya perlu kamu di sisiku? Bagiku, tak perlu menuntut ilmu hingga begitu jauh di negeri orang. Tak tahukah kamu, tanpa dirimu, semua itu sama sekali tiada berarti!


Namun akhirnya Jane luruh juga. Sungguh berat melepaskan Hans. Waktu dan jarak yang memisahkan, bisa saja mengubah segalanya. Di sana, pasti banyak gadis yang lebih cantik menggoda, yang lebih pintar, yang mampu menggoyahkan pria mana pun.


Tapi …. Bukankah Hans telah berjanji? Dia pasti kembali ke sini untuk merajut masa depan bersamaku. Juga janji akan meneleponku setiap hari. Juga janji untuk tetap mengingatku siang-malam. Juga janji ….


“Hans …., aku juga janji akan tetap setia menunggumu. Sampai kapan pun!” bisik Jane di antara isaknya yang tertahan, dalam dekapan hangat Hans.


*****

Hari ini, September 1996, genap dua tahun sudah kepergian Hans. Di awal-awal keberangkatannya, telepon darinya yang diwarnai untaian kata manis setiap hari pun terasa tak cukup sebagai pengobat rindu.

Belakangan ini, dia sungguh jarang menelepon, meski hanya sekadar say hello. Terlalu sibukkah dia? Hingga tak punya waktu lagi untuk melakukan hal-hal pribadinya? Bahkan untuk pulang ke Medan ketika Natal pun tak sempat lagi? Atau…., jangan-jangan dia malah sibuk dengan gadisnya yang baru? Gadis bule bermata biru yang cantik?


Ah, tidak! Hans bukan tipe begitu! Jangan biarkan hatiku menghambar di sini, Hans.


Namun, malam itu dunia serasa kiamat. Horn telepon terlepas begitu saja dari jemari Jane. Yang dia ingat selanjutnya adalah dunianya pekat semata. Sepi menggigit. Senyap menikam. Oh….., tidak! Berikutnya adalah sebuah lolongan panjang nan menyakitkan. Isak pilu tanpa asa. Dan itu suaranya sendiri!


“Maafkan aku, Jane…..Aku harus menikahi anak rekan bisnis Papa, demi kelanjutan perusahaan Papa…..”


Demi Papa?! Demi perusahaan Papa? Hanya dalam hitungan dua tahun engkau berubah sedrastis ini? Apa arti semua janji manismu itu, Hans?! Kisah klasik apa lagi yang engkau rangkai? Lalu aku ini apa, Hans?!


Ketika terjaga, hanya sakit semata, sungguh sakit di dalam sini, yang membenamkan Jane ke samudera terdalam. Benarlah, hatinya telah berdarah. Hans tidak bercanda. Hans lah yang menaburi aneka kembang semerbak di sana, namun Hans pulalah yang merobeknya dengan belati yang paling tajam!


“Jane, sabtu depan aku tiba di Medan. Kalau kamu tidak keberatan, akan kuperkenalkan calonku kepadamu. Mungkin kamu menganggapku telah gila sanggup melakukan semua ini. Ada sebuah alasan di balik semua ini. Izinkan aku menjelaskannya nanti kepadamu. Sekali lagi kumohon, maafkan aku, Jane ……”


Sabtu depan? Delapan hari lagi? Akan kubawa ke mana kepedihan tak bertara ini, Hans? Bila kepulanganmu hanya menambah deritaku, lebih baik kita akhiri kisah ini! Haruskah kusesali pertemuan kita? Semestinya cerita klasik ini tak perlu terjadi dalam kehidupan kita! Hans, izinkan aku mengubur semua mimpiku…..


Untuk kesekian kalinya Jane kembali mengelus album foto di depannya. Pemuda tampan itu masih berdiri gagah dengan latar Danau Toba yang memukau. Kini bening-bening kristal itu kian deras membanjiri wajahnya. Tiada kuasa untuk membendungnya. Deras dan semakin deras….


Perlahan dia meraih surat kabar yang juga telah kuyup oleh air mata. Tak percaya, dibacanya ulang sebuah judul besar di halaman satu, “Pesawat XYZ-Air Meledak di Udara dalam Penerbangan ke Medan.” Ya, pada manifes penumpang tertera nama Hans Andersonputra…..





Harian Analisa, 2 Mei 2010

1 komentar:

http://abebedorespgondufo.blogs.sapo.pt/ mengatakan...

Very good.

Posting Komentar